Selasa, 05 Mei 2009

Hak Politik Komunitas Betawi

Oleh: Arbi Sanit


PENDAHULUAN
Di bawah kekuasaan rejim Orde Baru, semua daerah dipimpin oleh elit nasional yang berasal dan ditentukan oleh pusat kekuasaan, kecuali beberapa propinsi yang pernah mengalami pergolakan daerah untuk memperjuangakan kekuasaaan bagi daerah dan putranya. Kecenderungan itu berakar kepada system politik dan pemerintahan yang disentralisasikan secara berganda. Pertama kalinya kedaulatan rakyat dipusatkan pada negara dengan akibat rakyat kehilangan hak politik secara mendasar. Pada tahap berikutnya, kekuasaan negara didominasikan oleh eksekutif sehingga yudikatif dan legislative tidak dapat berfungsi secara efektif. Dan akhirnya, presiden selaku kepala eksekutiflah yang memegang sendiri kendali kekuasaan negara. Sistem sentralisasi kekuasaan seperti itu memang telah memberikan sumbangan berupa stabilitas politik dan kemajuan ekonomi secara pesat. Akan tetapi kelemahannya pun tidak setara dengan kebaikannya, terutama untuk jangka panjang. Nyatanya setelah berlangsung selama sekitar dua dekade, kelemahannya bermunculan. Penindasan terhadap hak asasi, pengesampingan hak politik rakyat, ketimpangan sosial ekonomi antar golongan masyarakat dan antar daerah, hutang luar negeri yang melimpah, dan kemandekan kehidupan politik adalah deretan kelemahannya. Setelah 3 dekade, kelemahan-kelemahan itu berfungsi menjadi pemicu ketidakpuasan masyarakat luas untuk akhirnya bergerak menumbangkan penguasa yang mengaku sukses dan telah berjasa.
Reformasi yang berpeluang sejak tumbangnya rejim Orde Baru memberi peluang kepada masyarakat bangsa negara Indonesia untuk merubah sistem kekuasaan dan pemerintahan tersentralisasi itu desistem yang mendesentralisasikan kekuasaan negara. Sekalipun dibebani oleh berbagai kelemahan, UU No. 22 dan 25 tahun 1999 telah menetapkan desentralisasi dimaksudkan dengan jalan menerapkan otonomi luas kepada daerah. Konsekuensi dari otonomi luas kepada pemerintah daerah tersebut ialah terbukanya peluang bagi masyarakat setempat untuk berkiprah seoptimal mungkin terhadap pemerintahan daerahnya. Pada gilirannya otonomi pemerintah dan masyarakat daerah itu mehyebabkan kedua kekuatan itu berpeluang mengelola kehidupan sosial, budaya, ekonomi, dan politik daerahnya sendiri.
Namun begitu mobilitas sosial horizontal yang telah berlangsung semakin intensif dan begitu pula percampuran antar etnis sampai ke dalam perkawinan serta pemarakan integrasi sosial, tampil sebagi permasalahan bagi pengukuhan hak politik masyarakat setempat untuk menjadi penentu atau penguasa pemerintahan daerah. Persoalan hak politik komunitas asli dengan komuinitas pendatang menjadi inti dari permasalahan hak tersebut.

Hak Politik Putra Daerah
Adalah jelas bahwa penerapan otonomi pemerintah daerah yang luas memberikan keleluasaan bagi masyarakat daerah bersangkutan untuk mengatur atau mengelola daerahnya sesuai dengan kehendak atau kebutuhannya sendiri. Prinsip otonomi luas itu mempunyai konsekuensi sosiologis, dan politis. Secara sosiologis, eksistensi komunitas-komunitas sebagai basis pembentukan kekuatan masyarakat untuk melandasai pemerintah daerah perlu diperjelas. Untuk memastikan perbedaan masyarakat setempat dengan lainnya, pertama kalinya perlu dipertegas konsep putera daerah. Mereka adalah penduduk yang lahir di daerah bersangkutan atau bermukim sedikitnya 5 sampai 10 tahun di daerah tersebut atau kawin dengan putra daerah. Putra daerah dibedakan tes komunitas asli dan pendatang. Komunitas asli adalah penduduk keturunan cikal bakal daerah dan mereka yang melangsungkan perkawinan dengan warga komunitas asli tersebut. Dan komunitas pendatang adalah kelompok masyarakat yang merantau ke suatu daerah dan bermukim sebagai penetap di sana.
Berdasarkan kehidupan politik demokratik, tentulah segenap komunitas itu mempunyai hak yang sama untuk berkiprah di dalam segala bidang kehidupan, termasuk politik dan pemerintahan. Sekalipun begitu, kenyataan sosiologis itu tidaklah dapat dikesampingkan begitu saja. Komunitas asli dengan peran sejarahnya sebagi printis pembentukan daerah, pemberi cirri bahasa dan budaya daerah dan bahkan pemilik semula tanah di daerah tersebut, sepatutnya diberi kredit di dalam persaingan politis untuk mendapatkan posisi politik atau pemerintahan setempat. Sekalipun telah menjadi warga komunitas yang sukses di dalam ekonomi, dan pendidikan, kaum pendatang tidaklah dapat semena-mena menghapus peran historis dan kultural warga komunitas asli tersebut. Oleh karena itu ada baiknya dikembangkan semacam spesialisasi peran di antara komunitas asli dengan pendatang. Pendatang yang biasanya lebih sukses di dalam pendidikan dan ekonomi menjadi bidang kehidupan itu sebagi efektivitas utamanya. Sedangkan sebagai imbalan bagi warga komunitas asli dibuka kesempatan baginya untuk memfokuskan aktivitas di dalam politik dan pemerintahan. Tentu saja pembedaan peran utama itu tidak dimaksudkan untuk saling mematikan kesempatan sehingga harus dipaksakan. Praktek pembedaan fokus kegiatan itu tetap harus memenuhi kriteria yang diperlukan untuk menduduki posisi kekuasaan tertentu.
Sesungguhnya gejala penajaman tuntutan putra asli daerah untuk mendapatkan posisi politik dan pemerintahan penting di daerahnya sudah akan menjadi tren umum di segenap daerah Indonesia. Dengan bagitu aspirasi putra asli daerah menjadi lebih beralasan sebab karib putra daerah pendatang (perantau) menuntut hak yang sama di daerah asalnya. Jika demikian halnya, pemberian prioritas kesempatan kepada warga komunitas asli daerah untuk mendapatkan posisi politik dan pemerintahan tidaklah melanggar prinsip keadilan, sekalipun secara makro. Tampaknya pertimbangan itu masih dibutuhkan sampai mobilitas sosial masyarakat Indonesia dapat berlangsung secara alami dan intensif. Itulah saat di mana penilaian terhadap keseimbangan hak politik antar komunitas masyarakat secara mikro dapat dijadikan indikator demokrasi dan keadilan.
Komunitas Betawi sebagi salah satu pemegang hak politik putera daerah asli Jakarta tentunya tidak terlepas dari gambaran umum dari konsekuensi sosiologis dan politis dari penerapan otonomi daerah yang luas tersebut. Bila argumentasi itu beralasan, maka untuk mengajukannya diperlukan strategi yang bermanfaat. Ada dua strategi yang dapat ditempuh Komunitas Betawi untuk merealisasikan aspirasi politiknya itu. Pertama, konsolidasi dan kedua, partnership atau kerjasama politik.

Konsolidasi
Kenyataan menunjukkan bahwa komunitas Betawi bukanlah satu kelompok yang homogen. Ada perbedaan aliran agama, perbedaan strata sosial, dan perbedaan ideologi kepartaian yang dianut mereka. Untuk menghindarkan pengaruh negatif dari pluralisme kaum Betawi itu terhadap perjuangan untuk mewujudkan hak politik mereka tentang posisi kepemimpinan pemerintahan daerah, diperlukan konsolidasi untuk memperkuat diri secara politis. Setidaknya ada tiga upaya yang perlu dikerjakan untuk maksud tersebut, yaitu pemantapan visi politik kebetawian, penguatan organisasi kaum betawi, dan penyiapan kepemimpinan kaum Betawi itu sendiri.
Visi kebetawian dimaksudkan sebagai cara pandang yang merajut berbagai unsur Komunitas Betawi hingga mempunyai pandangan, pemahaman, dan sikap yang mengkristal tentang berbagai masalah kehidupan komunitas Betawi. Ternyata visi itu sekaligus mewakili pengalaman sejarah kaum betawi di samping harapan di masa depan. Akar nilai dari visi itu adalah kombinasi tradisi atau adat istiadat kaum Betawi dengan kultur metrtopolitan Jakarta yang banyak diwarnai oleh nilai global.
Penguatan organisasi kaum Betawi tentunya bukan dimaksudkan sebagai mensentralisasikan kekuasaan organisasi kelompok dan golongan Komunitas Betawi. Akan tetapi menumbuhkan kemampuan dan kemandirian segenap organisasi yang terbentuk untuk selanjutnya bekerja sama di dalam suatu jaringan komunikasi berupa forum. Melalui jaringan organisasi itulah visi dan misi komunitas Betawi dibangun dan disosialisasikan kepada segenap warga. Tentunya jaringan organisasi itu bukan dimaksudkan untuk memagar diri dari berbagai komunitas Jakarta lainnya. Sebaliknya jaringan itu dimanfaatkan sebagai mekanisme untuk menggalang kerjasama yang saling menguntungkan.
Baik visi kebetawian yang dikembangkan, itu maupun jaringan organisasi yang difungsionalisasikan tersebut, merupakan wadah bagi pengkaderan, pemupukan, dan pematangan pemimpin bagi komunitas Betawi. Dan sesusai dengan perluasan visi serta pengembangan fungsi organisasi itu, maka kepemimpinan pun mengalami pelebaran kemampuan dan tugas yaitu meliputi keseluruhan komunitas Jakarta. Untuk itu setidaknya tiga kemampuan pemimpin yang perlu dijadikan persyaratan bagi pemimpin yaitu menguasai masalah daerah, melakukan perjuangan yang intensif untuk kepentingan daerah Jakarta pada umumnya dan komunitas Betawi pada khususnya, dan didukung secara memadai oleh berbagai komunitas Jakarta.
Untuk jangka dekat ini segenap kriteria konsolidasi itu dimanfaatkan sebagai persyaratan bagi penentuan tokoh Komunitas Betawi untuk didukung menjadi pemimpin pemerintah daerah. Sedangkan untuk jangka panjang kriteria konsolidasi itu sekaligus dipergunakan sebagai langkah-langkah untuk memperkuat diri di samping menjadi ukuran penyaringan pemimpin yang akan diunggulkan.

Kerjasama Politik
Untuk mendudukan tokohnya di dalam kepemimpinan Pemda, Komunitas Betawi memerlukan kerjasama dengan partai-partai politik yang mendapatkan kursi di DPRD. Urgensinya ialah karena kepala daerah dicalonkan oleh partai, meski pemilihannya secara langsung. Pilihan strategis Komunitas Betawi untuk mengembangkan kerja sama itu dibatasi oleh konstalasi kekuatan partai di dalam daerah tersebut. Tentunya kerjasama itu tidak hanya menyangkut fraksi partai di DPRD sebab pembuat kebijaksanaan partai adalah DPD-nya di Jakarta. Karena itu diperlukan kerjasama menyeluruh dengan jajaran organisasi partai ditingkat DKI Jakarta.
Kerjasama dengan partai berarti Komunitas Betawi harus menyiapkan tawaran posisi kekuasaan di DKI Jakarta yang sepadan dengan dukungan yang diberikan oleh partai bersangkutan. Untuk itu diperlukan perhitungan yang cermat di samping ahli negosiasi untuk mendukung kerjasama itu tapi perlu diingat bahwa tawar menawar untuk mendapatkan dukungan tersebut hendaklah menghindarkan KKN dan money polities karena hal itu akan menyeret Pemda yang terbentuk ke dalam lubang gelap korupsi yang lazim dipraktekkan oleh penguasa Orde Baru.


KESIMPULAN
Sesungguhnya argumentasi putra asli daerah menjadi pemimpin Pemda bukan saja didukung oleh konsekuensi sosiologis dan politis dari pelaksanaan otonomi Pemerintahan Daerah yang luas. Lebih dari itu, gejala politik era reformasi yang meluas disegenap daerah Indonesia tersebut merupakan bagian dari pemulihan politik aliran yang mengembalikan peran agama, suku, dan daerah sebagai basis sosial bagi kehidupan kekuatan-kekuatan politik alias partai di dalam upayanya mendapatkan dukungan dari para pemilih.
Karena hal itu sudah menjadi kenyataan, maka upaya untuk mewujudkan aspirasi Komunitas Betawi untuk mendudukan putranya pada posisi pimpinan Pemda DKI Jakarta amatlah ditentukan oleh strategi mereka mengkonsolidasikan kekuatan diri di samping memanfaatkan strategi kerjasama dengan partai politik yang mempunyai kekuatan besar. Tapi kerjasama itu memerlukan bimbingan etis supaya terhindari dari jebakan KKN dan politik uang.

http://www.kampungbetawi.com/gerobog/sohibul/sohibul4.php

Related Post:

Widget by [ Iptek-4u ]

0 komentar:

Posting Komentar

Untuk sobat blogger yang ingin memberi komentar atas situs ini dan isi tulisan yang ada di blog ini, silahkan masukkan komentar-komentar sobat.

 
Design by Technology Information Center