Dari Revolusi Hijau ke Revolusi Biru
* M Fadhil Hasan dan Muh Ramli Ayubar
TANTANGAN otoritas ekonomi makro saat ini dalam pemulihan ekonomi, terpatri pada empat persoalan pokok. Pertama, mengatasi ancaman rendahnya pertumbuhan ekonomi dalam jangka pendek dan menengah. Kedua, APBN yang akan mengalami defisit karena target penerimaan yang tidak meningkat. Ketiga, beban pembayaran utang luar negeri dan bunga obligasi. Keempat, inflasi yang masih tetap tinggi dan nilai tukar yang masih rendah. Restrukturisasi perbankan dan kebijakan moneter merupakan keharusan, namun hanya bersifat jangka pendek. Dalam jangka menengah dan panjang, persoalan-persoalan ekonomi nasional hanya dapat diselesaikan jika sektor riil pulih dan bergerak naik. Tanpa kebijakan tersebut, usaha-usaha pemulihan ekonomi akan sulit tercapai.
Persoalan selanjutnya, bagaimana menggerakkan sektor riil warisan krisis ekonomi yang sarat dengan problem struktural dan daya saing rendah. Tidaklah tepat bila pemerintah menggulirkan kebijakan, misalnya, merestrukturisasi sektor riil dengan hanya me-recovery industri-industri atau sektor usaha yang menjadi penyebab krisis. Seperti, industri-industri hasil kebijakan industri subtitusi impor (industry substitution import-ISI) dengan biaya ekonomi tinggi (high cost economy, bersifat asembling, dan membutuhkan proteksi serta subsidi. Industri-industri semacam ini nantinya, justru akan menjadi beban pemerintah lagi. Padahal, pembangunan ekonomi adalah memperluas dasar ekonomi dan lapangan kehidupan. Dengan perluasan tersebut diharapkan akan tercapai keseimbangan dalam struktur ekonomi dan kehidupan masyarakat. Lagi pula, negara tidak tergantung lagi dari perkembangan beberapa sektor saja yang amat terbatas.
"Entry point" strukturisasi
"Entry point" pemerintah dalam pembangunan ekonomi, khususnya menggerakkan sektor riil adalah mencari sektor pertumbuhan yang merupakan keunggulan komparatif dan kompetitif bangsa. Sektor seperti ini pada dasarnya merupakan kekayaan sumber daya alam di dalam negeri, seperti pertanian, kelautan, dan perikanan (KP), pariwisata, kehutanan, dan bahan mineral.
Di antara sektor-sektor itu, KP merupakan sektor yang belum dimanfaatkan secara optimal bagi pembangunan. Ironisnya, justru sumber daya ini lebih banyak dinikmati pihak asing, dan negara menderita kerugian sekitar 1,9 milyar dollar AS tiap tahunnya. Padahal, nilai potensi sumber daya KP mencapai 72 milyar dollar (Rp 720 trilyun), atau lebih besar dari aset Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) yang hanya mencapai Rp 650 trilyun.
Menurut Wakil Presiden Hamzah Haz, bila aset di BPPN dijual, hanya menghasilkan Rp 127 trilyun atau 26 persen saja. Bayangkan jika potensi KP bisa direalisasikan sebesar 25 persen saja, akan menghasilkan Rp 180 trilyun.
Meski berpotensi besar, sektor KP memiliki sejumlah kendala dan hambatan dalam pengembangan dan pengelolaannya. Secara mikroteknis, keterbatasan infrastruktur, aliran investasi atau modal, rendahnya inovasi teknologi dan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas, menjadi faktor penghambat untuk memanfaatkannya. Sedangkan, kebijakan ekonomi-makro, politik, hukum, dan kelembagaan yang tidak konduksif bagi pembangunan KP, merupakan hambatan makrostruktural.
Selama kedua masalah ini belum dapat dipecahkan, potensi KP ibarat "raksasa tidur " itu, hanya menjadi "harta ka-run" yang mubazir. Dibutuh-kan pendorong besar (big-push) untuk mengatasi masalah yang menjadi hambatan pemanfaatan potensi KP. Sudah selayaknya pemerintahan Presiden Megawati yang selama ini dikritik belum memiliki program yang jelas-kecuali menjual aset-aset BPPN menempatkan KP sebagai salah satu penggerak utama pemulihan dan pembangunan ekonomi.
Untuk merealisasikan hal tersebut, diperlukan sebuah kemauan politik (political will) yang diwujudkan-misalnya-dalam sebuah gerakan nasional semacam revolusi biru. Gerak-an nasional semacam ini seperti revolusi hijau-terbukti pernah sukses mengantarkan Indonesia sebagai negara swasembada pangan. Namun, revolusi biru tidak akan dan tidak mungkin mengikuti pola revolusi hijau, mengingat perbedaan-perbedaan yang mendasar.
Pertama, perbedaan jenis komoditas antara produk pertanian dengan KP.
Kedua, perbedaan latar belakang sosiologis antara petani dengan nelayan/pembudidaya ikan.
Ketiga, perbedaan teknis dan cara berproduksi yang disebabkan perbedaan faktor-faktor geografis.
Disisi lain, terjadi perubahan lingkungan strategis saat ini, dimana otonomi daerah dan globalisasi telah menjadi faktor determinan ekonomi dan politik. Perbedaan-perbedaan tersebut membuat tujuan, orientasi, dan strategi revolusi biru memiliki perbedaan signifikan dengan revolusi hijau.
Revolusi hijau
Pada dasarnya, konsep revolusi hijau yang di Indonesia dikenal sebagai gerakan Bimas, adalah program nasional untuk meningkatkan produksi pangan, khususnya swasembada beras. Tujuan tersebut dilatarbelakangi "mitos" bahwa beras adalah komoditas strategis baik ditinjau dari kacamata ekonomi, politik, dan sosial. Gerakan Bimas berintikan tiga komponen pokok, yaitu penggunaan teknologi yang sering disebut panca usaha tani, penerapan kebijakan harga baik untuk sarana produksi dan hasilnya, serta adanya dukungan kredit dan infrastruktur. Pelaksanaan gerakan nasional ini langsung dikomandani oleh presiden dan berhasil mengantarkan Indonesia pada swasembada pangan.
Kombinasi ketiga komponen tersebut berhasil dalam meningkatkan produktivitas. Penerapan kebijakan harga baik pada sarana produksi seperti pupuk dan bibit dengan memberikan subsidi, telah memungkinkan petani memperoleh sarana tersebut pada tingkat harga yang jauh lebih murah dari harga yang semestinya. Sedangkan kebijakan harga gabah dengan penetapan harga dasar dan harga tertinggi (floor and ceiling prices) memberikan jaminan adanya harga gabah yang relatif stabil sehingga memberikan dorongan dan kepastian investasi bagi para petani. Bulog memegang peranan penting agar mekanisme harga ini berjalan dengan efektif.
Selanjutnya, upaya penerapan teknologi produksi didukung oleh adanya penyaluran kredit Bimas dan juga adanya tenaga-tenaga penyuluh yang mendampingi petani melaksanakan usaha taninya. Pengadaan kredit usaha tani ini memberikan akses petani pada lembaga-lembaga keuangan dan berhasil mengatasi salah satu masalah utama petani yaitu keterbatasan modal. Dengan demikian, petani tidak lagi terbebani ketiadaan modal untuk menjalankan usaha taninya. Adanya kegiatan penyuluhan juga memberikan sumbangan penting bagi keberhasilan usaha tani padi. Kegiatan penyuluhan memudahkan petani untuk mengatasi masalah-masalah teknis bagi usaha taninya dan memperoleh informasi-informasi serta teknologi baru dalam pengelolaan usahatani padi. Terakhir, adanya dukungan lintas sektoral dalam pelaksanaan gerakan Bimas, seperti pembangunan sarana irigasi, jalan, dan gudang-gudang memperlancar dan mempermudah pemasaran dan pengangkutan hasil-hasil usaha tani. Singkatnya, dalam gerakan Bimas ini, petani diberikan segala fasilitas yang diperlukan dalam menjalankan usaha taninya, sehingga yang mereka perlu lakukan hanyalah bekerja sesuai kemampuannya.
Namun demikian, keberhasilan gerakan ini juga membawa ekses-ekses yang tidak sedikit dan bahkan membayang-bayangi kesuksesan yang disandangnya.
Pertama, gerakan Bimas ini gagal meningkatkan kesejahteraan petani secara keseluruhan karena terlalu berorientasi kepada peningkatan produksi.
Kedua, gerakan ini justru dianggap bias ke petani besar dan pemilik tanah, dan melupakan petani kecil serta buruh tani. Dengan kata lain, hanya petani besar dan para pemilik tanah sajalah yang diuntungkan program ini. Bahkan, gerakan ini dianggap bertanggung jawab telah memperburuk ketimpangan sosial di daerah pedesaan.
Ketiga, program ini juga dijalankan almost at all cost tanpa berusaha mempertimbangkan manfaat dan biayanya secara ekonomis dan sosial. Hal ini terutama terjadi pada masa pertengahan dan tahun-tahun terakhir program ini dijalankan. Keempat, kerusakan lingkungan, khususnya air dan tanah karena penggunaan pestisida dan pupuk yang tidak terkendali. Kerusakan ini secara perlahan membuat unsur hara tanah berkurang, dan produktivitas menurun.
Revolusi biru
Belajar dari keberhasilan dan kegagalan revolusi hijau dan faktor lingkungan strategis saat ini, gerakan nasional revolusi biru harus dirumuskan dalam blue print pemerataan dan kelestarian lingkungan untuk pertumbuhan.
Pertama, visi dari gerakan revolusi biru adalah strategi pengembangan aquabisnis berbasis masyarakat dan berwa-wasan lingkungan, guna mempercepat pembangunan sektor kelautan dan perikanan. Cetak biru (blue print) tersebut menempatkan keadilan sosial ekonomi dan kelestarian lingkungan sebagai prinsip-prinsip gerakan. Karena di dalamnya termuat gagasan pemberdayaan, kemitraan, dan pembangunan berkelanjutan. Artinya, melalui prinsip-prindip keadilan tersebut nelayan dan pembudidaya ikan menjadi target pemberdayaan, mengingat mereka adalah kelompok masyarakat miskin yang hampir tidak tersentuhkan oleh pembangunan.
Kedua, pertumbuhan produksi dalam revolusi biru dilakukan dengan mengikat kerja sama antara nelayan tradisional yang menjadi target pemberdayaan, dengan kalangan pengusaha swasta. Karena tidak mungkin dipungkiri bila aktor pertumbuhan dalam ekonomi adalah kalangan swasta. Melalui kemitraan ini, terbentuk mekanisme pertumbuhan melalui pemerataan (growth from equity). Di sisi lain, kemitraan adalah strategi untuk mengikat partisipasi nelayan tradisional dengan usaha swasta. Aspek lain dari kemitraan adalah bahwa revolusi biru tidak hanya berkutat dalam persoalan meningkatkan produksi. Aspek pengolahan dan penanganan pascapanen serta pemasaran produk harus pula diperhitungkan. Pengelolaannya dilaksanakan secara terintegrasi dan menyeluruh. Para nelayan dan pembudidaya ikan akan menitikberatkan pada kegiatan produksi, sedangkan swasta berfokus pada aspek penanganan pascapanen dan pemasaran. Namun, hal ini harus dijalin dalam kerangka kemitraan yang setara.
Ketiga, gerakan revolusi biru juga tidak dapat mengandalkan pemerintah untuk menerapkan kebijakan harga seperti halnya dalam gerakan Bimas. Selain sudah tidak mungkin bagi pemerintah untuk menjalankan kebijakan ini, karena sumber keuangan pemerintah yang terbatas, orientasi keduanya pun berbeda. Pada gerakan Bimas, pemerintah berusaha menstabilkan harga gabah dalam negeri dan berusaha mengisolasi pasar dalam negeri dari pasar internasional. Dalam gerakan revolusi biru, justru orientasinya adalah bagaimana menembus pasar internasional, sehingga fluktuasi harga di pasar internasional yang dijadikan orientasi bagi pengembangan produk-produknya.
Keempat, menyangkut aspek ketersediaan sumber daya, karena pembangunan yang diharapkan adalah pembangunan yang berkelanjutan. Bagaimanapun, pembangunan sektor KP pada dasarnya mengandalkan faktor sumber daya alam hayati berupa perikanan. Keberhasilan revolusi biru akan sangat tergantung pada ketersediaan sumber daya hayati itu. Menyadari hal tersebut, pemberdayaan dan kemitraan harus mampu membentuk kesadaran dan melibatkan partisipasi aktif stakeholder tentang pentingnya pelestarian lingkungan. Pada proses ini, aspek otonomi daerah menjadi signifikan, yakni pengelolaan dan pelestarian lingkungan dan sumber daya manusianya harus melibatkan masyarakat pesisir dalam perencanaan dan pelaksanaan pelestarian itu. Maka, dimensi nilai-nilai dan kearifan lokal dalam mengelola sumber daya alam seperti hak ulayat laut maupun kelembagaan tradisional (Sasi dan panglima laut), harus dapat diadopsi bagi kepentingan kelestarian lingkungan itu sendiri.
Tantangan revolusi biru banyak ditentukan sejauh mana pemerintah dalam mendukung secara terencana dan menyeluruh. Kalau toh ada pelajaran yang dapat diambil dari revolusi hijau, maka itu adalah komitmen dan political will pemerintah. Terutama presiden sendiri, untuk memimpin langsung revolusi biru ini menjadi suatu gerakan nasional yang berkelanjutan.
* M Fadhil Hasan dan Muh Ramli Ayubar, Masing-masing alumnus University of Kentucky dan Institut Pertanian Bogor
Related Post:
Widget by [ Iptek-4u ]
0 komentar:
Posting Komentar
Untuk sobat blogger yang ingin memberi komentar atas situs ini dan isi tulisan yang ada di blog ini, silahkan masukkan komentar-komentar sobat.