Minggu, 14 November 2010

Mengikis Fanatisme Mengembangkan Toleransi

M. Quraish Syihab


Memberikan defenisi ukhuwah Islamiah bukanlah suatu pekerjaan mudah. Sebabnya, antara lain, istilah ini bukan hanya menyangkut sikap lahiriah, melainkan juga sikap batiniah. Tetapi, paling tidak kita bisa memberikan gambaran tentangnya, sebagaimana Rasulullah. Rasulullah SAW menggambarkan ukhuwah Islamiah dengan contoh-contoh. Misalnya : “Muslim yang satu dengan yang lainnya seperti suatu bangunan yang saling kuat-menguatkan”, atau “semacam satu tubuh.” Sehingga, kalau pun kita ingin menyusun suatu formulasi mengenai ukhuwah Islamiah, paling tidak kita bisa berkata bahwa itu adalah : suatu kondisi dinamis yang diakibatkan oleh adanya perasaan senasib dan sepenanggungan.

Prasyarat-Prasyarat Ukhuwah Islamiah Prasyarat bagi terwujudnya ukhuwah Islamiah ini adalah, pertama, harus ada husnuzh-zhan, prasangka baik terhadap semua saudara. Kalau sejak semula Anda punya prasangka buruk, maka segala apa yang dilakukan oleh pihak lain, walaupun itu baik, Anda tafsirkan jelek, sehingga menimbulkan keretakan. Dan yang kedua, tidak ada satu kelompok pun boleh memonopoli kebenaran.

Prasyarat lain, barangkali, adalah pendidikan. Latar belakang pendidikan seseorang mempengaruhi terwujudnya ukhuwah Islamiah. Semakin tinggi pengetahuan seseorang bisa diharapkan semakin tinggi toleransinya. Sebaliknya, semakin rendah pengetahuan seseorang dan latar belakang pendidikannya, semakin besar kemungkinan timbulnya hal-hal yang negatif, khusunya kalau ada yang mengembus-embuskan dari luar. Di negeri-negeri Islam yang tingkat pendidikannya maju, ukhuwah Islamiah menyangkut kehidupan beragama (bukan politik) lebih kokoh dibanding dengan di negeri-negeri Islam yang tingkat pendidikan masyarakatnya terbelakang. Contohnya di Mesir. Kalau Anda berbicara menyangkut perbedaan pendapat di Mesir orang tidak akan memaki Anda.

Dugaan Sumber Perbedaan

Semua umat Islam sepakat bahwa petunjuk pasti yang tidak diragukan –baik dalam redaksi apalagi maknanya– adalah Al-Quran. Tetapi Al-Quran merupakan teks, redaksi-redaksi, kalimat-kalimat. Setiap kalimat bisa menimbulkan interpretasi yang berbeda-beda. Namun demikian, ada interpretasi-interpretasi yang bisa pasti penafsirannya disebabkan oleh adanya dukungan argumentasi-argumentasi lain. Satu contoh, Keesaan Tuhan. Tidak seorangpun dari kaum Muslimin, selama dia Muslim, meragukan bahwa Tuhan itu Esa. Itu diistilahkan dengan Qath’i, pasti benar. Selain masalah Keesaan Tuhan di atas, semua Muslim yakin bahwa Nabi Muhammad adalah Utusan Tuhan yang terakhir untuk seluruh manusia; bahwa Hari Kemudian itu ada; bahwa Al-Quran itu benar, tidak ada tambahan, tidak ada kekurangannya, dan sebagainya. Tetapi, ada lagi satu jenis redaksi yang memang bisa menimbulkan dua atau lebih penafsiran. Itu diistilahkan dengan “dugaan yang mendekati kebenaran” atau Zhanni.

Kita harus tahu bahwa yang qath’i itu sebenarnya sedikit sekali. Setiap redaksi yang kita temui, walaupun ayat Al-Quran, dalam penafsirannya mempunyai kaitan dengan banyak hal. Imam As-Syatibi menyebutkan paling sedikit sepuluh hal. Satu kata saja, bisa menimbulkan perbedaan berkenaan dengan pengertiannya – apakah etimologis, terminologis ataukah pengertian sehari-hari. Sedang dalam hadis, perbedaan penilaian mengenai shahih-tidaknya, bisa merupakan sumber perbedaan. Apa-apa yang kita namakan qath’i itu, juga diistilahkan dengan sesuatu yang telah diketahui oleh umat Islam secara pasti (adh-dharurah ma’lumun minaddin). Nah, setiap perselisihan menyangkut hal ini bisa mengakibatkan seorang dinilai bukan Muslim. Tetapi, kalu perbedaan itu hanya dalam ruang lingkup zhanni, tidak menjadikan seorang yang tidak mengakuinya lantas boleh dianggap keluar dari Islam.

Selanjutnya, kita akan masuk ke dalam soal wewenang penafsiran. Pertama sekali, tidak semua orang boleh semaunya menetapkan sesuatu soal sebagai zhanni atau qath’i. Ada prasyarat-prasyarat untuk mendapatkan wewenang itu. Dia harus memperhatikan bagaimana kaitannya dengan hadis, bagaimana kaitannya dengan kaidah-kaidah penafsiran yang lain. Ada syarat-syarat yang sebenarnya telah disepakati oleh ulama-ulama menyangkut wewenang penafsir dan batasannya. Untuk bisa menafsirkan teks Al-Quran, setidaknya seseorang mesti menguasai pengetahuan bahasa arab, sejarah Al-Quran atau Hadis, ditambah pengetahuan mengenai masalah yang ingin ditafsirkan. Sebagaimana, misalnya, seorang dokter yang akan melakukan pembedahan, disyaratkan memenuhi terlebih dahulu persyaratan penguasaan terhadap kemampuan-kemampuan tertentu, begitu juga agama menetapkan syarat-syarat tertentu sebelum seseorang diberi wewenang untuk menafsirkan. Bukan berarti bahwa kemudian orang tidak boleh berijtihad. Bukankah adanya syarat-syarat bagi seorang yang akan membedah, atau adanya syarat-syarat bagi seseorang yang akan membangun satu gedung itu, tidak berarti larangan untuk membangun atau membedah?

Melakukan penafsiran sekehendak hati ini sebenarnya salah satu penyakit di dunia Islam, setiap orang merasa bahwa Al-Quran diturunkan untuk semua orang, sehingga semua orang merasa punya wewenang untuk memahaminya, walaupun dia tidak mempunyai syarat untuk itu.

Toleransi bagi yang Zhanni

Perbedaan yang menyangkut hal-hal yang bersifat dugaan atau zhanni, bisa atau harus ditolerir oleh semua pihak, selama pendapat tersebut memenuhi persyaratan-persyaratan yang disebutkan diatas. Kita tidak diperbolehkan oleh agama berbeda dalam tujuan, tapi dibenarkan di dalam cara mencapai tujuan. Islam memberikan kelonggaran pada apa yang disebut tanawa’ul ibadah (keragaman cara beribadah), meski harus juga diketahui bahwa agama juga memberikan prinsip-prinsip pokok yang membatasi cara tersebut. Dalam Islam, tujuan tak boleh menghalalkan cara. Dalam batas-batas syar’i tersebut, cara memang perlu berubah-ubah dari satu kondisi ke kondisi lainnya yang sesuai dengan kebutuhan. Bahkan, lebih jauh lagi, Al-Quran memberikan kemungkinan dua kelompok dari kaum mukminin berperang (iqtatalu), tapi toh Al-Quran masih menyebut mereka mukmin (minal mu’minin). Kemudian, salah satu tujuan pokok agama dalam kehidupan sosial, adalah menjaga persatuan. Bahkan dalam beberapa ayat Al-Quran, perpecahan itu terkadang dinamai kekufuran – seperti misalnya, penafsiran Muhammad Abduh dan Hasan Al-Banna tentang ayat 105-106 surah Ali Imran.

Jadi, Anda boleh mengemukakan perbedaan-perbedaan ini selama tidak menimbulkan perpecahan. Karena itu, perbedaan-perbedaan faham sebaiknya dikemukakan di dalam suatu forum yang bisa mentolerir perbedaan pendapat ini, misalnya di Perguruan tinggi dan jangan di masyarakat awam.

Semua Golongan Muslim Selamat

Sehubungan dengan masalah ini, ada satu Hadis Nabi SAW yang diriwayatkan oleh At-Turmudzi, dan Abu Daud yang berbunyi : “Akan berfirqah-firqah umatku menjadi 73 firqah/golongan, semuanya di neraka kecuali satu golongan.” Yang satu golongan ini siapa? Tanya sahabat. Nabi menjawab: “Yang (keyakinan dan pengamalannya) sesuai dengan (keyakinan dan pengamalan)-ku.” Mencari yang satu golongan ini, mengakibatkan diskusi dan pembahasan berkepanjangan dari para ulama yang mewakili tiap-tiap golongan yang ada. Masing-masing – baik Sunni, Syi’i, Khawarij, Mu’tazilah dan sebagainya – mengklaim bahwa golongannyalah yang selamat karena mengikuti Nabi, sedang golongan lain tidak selamat. Bahkan kelompok-kelompok kecil kecil yang terdapat dalam masing-masing golongan tadi, menyatakan bahwa yang dimaksud oleh Nabi adalah kelompoknya semata-mata. Ada satu pendapat yang menarik dari Syekh Muhammad Abduh yang agaknya baik untuk direnungkan. Menurut beliau, banyak alternative yang tergambar dalam benak seseorang yang bersifat obyektif menyangkut pengertian Hadis tersebut, antara lain: 1. Mungkin satu golongan yang selamat itu, suatu ketika telah pernah ada dan telah punah, sehingga yang ada sekarang kesemuanya termasuk dalam kelompok yang tidak selamat. 2. Mungkin ke-tujuhpuluhtiga golongan yang dimaksud itu, belum terbentuk semuanya hingga masa kini. 3. Mungkin juga satu golongan yang selamat itu, belum lagi terbentuk, atau 4. Kesemua yang ada sekarang ini termasuk dalam kelompok yang selamat itu, karena kesemuanya mengikuti prinsip-prinsip pokok ajaran Islam yang dijelaskan oleh Nabi secara qath’i.

Muhammad Abduh kemudian menyatakan bahwa : “Yang menggembirakan saya adalah adanya satu riwayat yang menyatakan bahwa; yang sesat/binasa hanya satu golongan dari ketujuhpuluhtiga golongan tersebut.” Nah, sekarang, apa kita lantas bisa beranggapan bahwa Syi’ah tidak ikhlas mengikuti Nabi? Sunni tidak ikhlas mengikuti Nabi? Yang terjadi hanyalah mereka berbeda interpretasi karena perbedaan hasil ijtihad. Perbedaan pendapat tidak bisa dihindari karena kita sebagai manusia diberi akal. Kita hendaknya jangan terlalu ambisius, sehingga ingin mempersatukan umat dalam seluruh langkah dan tindakan. Biarlah kita ber-fastabiqul khairat, asal tujuan kita sama, insya Allah semua akan berhasil mencapai tujuan. Dengan demikian, adanya golongan-golongan ini, asal mereka saling memahami apa-apa yang boleh ditolerir, malah akan menjadikan masing-masing pihak berpacu untuk menuju sasaran yang sama, sehingga menimbulkan dinamika.

*Semula tulisan ini diterbitkan dalam buku “Satu Islam, Sebuah Dilema”, terbitan Mizan.

Sumber: http://buletinmitsal.wordpress.com/perspektif/

Selasa, 05 Mei 2009

Mengeja Kecelakaan Sejarah

Oleh Ibn Ghifarie

Memasuki tanggal 30 september kita selalu dihadapkan pada satu peristiwa mengerikan, nanar, hingga nyaris hanyut dalam pangkuat sejarah ganjil. Betapa tidak, sebagian masyarakat menggugat tentang kebenaran PKI sebagai biang kerok kejadian tersebut.
Laksamana september kelabu. Kini, anggapan miring terhadap kaum komunis pun mulai perlahan-lahan dibantahnya. Seperti yang dilakuakn oleh Imam Soedjono dalam buku Yang Berlawan: Membongkar Tabir Pemalsuan Sejarah PKI, (2006;350) dan ditulis ulang oleh Syahrul Kirom dalam Media Indonesia (03/10)
Menurut Imam Soedjono, pemberontakan PKI 1926 harus dipahami sebagai bentuk perlawanan rakyat melawan kolonialisme. Sementara itu, peristiwa Madiun 1948 sebagai pemberontakan dalam mempertahankan diri dari serangan yang dilancarkan Red Drive Proposal (usulan pembantaian kaum merah) yang didanai Amerika Serikat (AS) untuk membendung kekuatan komunisme. Artinya bukan lagi pemberontakan antara PKI dengan pemerintah. Melainkan perseteruan rakyat jelata dengan penguasa modal.
Lagi, karena kuatnya pencitraan dan stereotip masyarakat terhadap PKI tetap buruk. Sejarah PKI yang sering disalahpahami di antaranya peristiwa pemberontakan PKI 1926, peristiwa Madiun 1948, dan peristiwa G-30-S serta pembantaian tokoh-tokoh Indonesia.
Tak salah kirannya, jika kemudian terjadi praktik rekayasa, manipulasi, imajinasi, penggelapan, pemalsuan, dan penghitaman peristiwa sejarah. Misalnya melalui buku-buku sejarah, pidato kenegaraan, film, khotbah, pemberitaan pers, khotbah agama, kemudian dijadikan suatu kebenaran.
Dengan demikian, upaya penghitaman sejarah komunis merupakan salah satu bentuk kecelakaan sejarah. Pasalnya, tak selamanya benturan sekaligus nyawa sebagai imbalanya dalam mempertahankan diri dari cengkaraman penguasa lalim.
Alih-alih menyelamatkan pancasila dari segala bentuk rong-rongan paham-paham tak berTuhan (ateis) dan melanggengkan kekuasaan Orde Baru (OrBa), Soeharto berusaha menutup-nutupi peristiwa sebenarnya, hingga dalam ranah keilmuan sejarah pun Ia berupaya menyeragamkan para sejarawan. Sudah tentu, bila mereka tak mau mengikuti selera Bapak Pembanguna, maka tunggu pembalsanya.
Pertanyaannya, bukankah ketika terjadi pemasungan secara besar-besaran terhadap ruang Intelektual. Hal ini merupakan kecelakaan sejarah? Ironis..[Ibn Ghifarie]

Cag Rampes,Pojok PusInfoKomp,03/10;08.34 wib.
http://penaindonesia.com/?q=node/90

Dengan Sumpah Pemuda Menjadikan Indonesia Milik Bersama

(Oleh : A. Umar Said)


Hari Sumpah Pemuda, yang setiap tahun kita rayakan pada tanggal 28 Oktober, adalah hari yang keramat bagi bangsa Indonesia. Namun, sayangnya, selama 32 tahun Orde Baru peringatan hari yang amat penting ini, terasa sudah kehilangan “api”-nya atau jiwanya yang revolusioner. Padahal, Sumpah Pemuda adalah salah satu di antara berbagai landasan utama bagi kebangkitan nasional kita, dan merupakan semen yang mempersatukan bangsa dan negara kita. Seperti halnya Hari Pahlawan 10 November, Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika, Sumpah Pemuda adalah pegangan penting bagi kita semua.
Dewasa ini, ketika negara dan bangsa kita sedang dilanda oleh berbagai krisis di banyak bidang, adalah amat penting bagi kita semua untuk menyimak kembali arti penting hari yang bersejarah ini, dan berusaha menghayati maknanya bagi kelangsungan kehidupan kita bersama. Selama lebih dari 32 tahun, Hari Sumpah Pemuda telah diperingati dengan upacara-upacara yang kebanyakan dikemas dengan pidato-pidato para “tokoh” yang kosong isinya, dan terlepas dari jiwa sejarah revolusioner yang melahirkannya. Tidak bisa lain!. Sebab, jelaslah kiranya bahwa tidak bisa diharapkan adanya pemahaman yang tepat dari para pendukung politik Orde Baru, yang umumnya terdiri dari oknum-oknum reaksioner, tentang sejarah lahirnya Sumpah Pemuda dalam tahun 1928. Mereka TIDAK MAU mengerti, dan tidak bisa memahami bahwa Sumpah Pemuda tidak bisa dipisahkan dari perjuangan politik revolusioner Bung Karno. Mereka juga TIDAK MAMPU memahami bahwa Sumpah Pemuda ada kaitannya yang erat dengan pengaruh yang ditimbulkan oleh pembrontakan melawan kolonialisme Belanda yang dilancarkan oleh PKI dalam tahun 1926.
Oleh karena politik “de-Sukarnoisasi” dan anti-komunis yang dilancarkan selama puluhan tahun oleh para pendukung Orde Baru, maka Hari Sumpah Pemuda kehilangan api kerevolusionerannya, dan dipreteli pesan-sejarahnya yang penting. Adalah sudah waktunya, sekarang, bagi masyarakat sejarawan Indonesia untuk memeriksa kembali berbagai aspek tentang lahirnya Sumpah Pemuda. Dan adalah kewajiban pemerintah dan berbagai lembaga negara kita untuk mngangkat kembali Sumpah Pemuda sebagai senjata ampuh dalam mempersatukan bangsa dan negara, yang sekarang sedang terancam oleh beraneka-ragam rongrongan dari banyak fihak. Dan oleh karena kita semua TIDAK BOLEH hanya menggantungkan harapan kepada kemauan atau kemampuan para “tokoh” (kaum elite atau kalangan “atasan”) saja, maka obor Hari Sumpah Pemuda haruslah untuk selanjutnya dipanggul bersama-sama oleh beraneka-ragam gerakan ornop, LSM, partai-partai politik, organisasi-organisasi buruh, tani, pemuda, mahasiswa, perempuan dan lain-lain.

ARTI PENTING LAHIRNYA SUMPAH PEMUDA
Ketika beraneka-ragam kecenderungan permusuhan atau perpecahan mulai nampak membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa kita, maka mengisi Hari Sumpah Pemuda dengan jiwa aslinya adalah amat penting. Suara-suara negatif sebagai akibat interpretasi yang salah tentang otonomi daerah sudah mengkhianati jiwa Sumpah Pemuda. Demikian juga pernyataan dan kegiatan-kegiatan sebagian dari golongan Islam reaksioner, seperti yang dipertontonkan oleh organisasi/gerakan semacam Front Pembela Islam, Ahlussunah Waljemaah, Majelis Mujahidin Indonesia, KISDI dan lain-lain sebagainya.
Perlulah kiranya selalu kita ingat bersama-sama bahwa Sumpah Pemuda, yang dilahirkan sebagai hasil Kongres Pemuda II yang diselenggarakan tanggal 27-28 Oktober 1928 di Jakarta adalah manifestasi yang gemilang dari hasrat kuat kalangan muda Indonesia, yang terdiri dari berbagai suku dan agama, untuk menggalang persatuan bangsa dalam perjuangan melawan kolonialisme Belanda. Mereka ini adalah wakil-wakil angkatan muda yang tergabung dalam Jong Java, Jong Islamieten Bond, Jong Sumatranen Bond, Jong Batak, Jong Celebes, Jong Ambon, Minahasa Bond, Madura Bond, Pemuda Betawi dan lain-lain. Atas prakarsa Perhimpunan Pelajar-pelajar Indonesia (PPPI) inilah kongres pemuda itu telah melahirkan Sumpah yang berbunyi : “Kami putera dan puteri Indonesia mengaku bertumpah-darah yang satu : tanah Indonesia. Kami putera dan puteri Indonesia mengaku berbangsa yang satu : bangsa Indonesia. Kami putera dan puteri Indonesia menjunjung bahasa yang satu : bahasa Indonesia “.
Dalam sejarah bangsa Indonesia, sudah terjadi banyak perlawanan terhadap kolonialisme Belanda, yang dilakukan oleh berbagai suku di berbagai daerah, baik di Sumatera, Jawa, Sulawesi, Maluku dan pulau-pulau lainnya. Namun, karena perjuangan itu sebagian besar bersifat lokal dan kesukuan, maka telah mengalami kegagalan. Pembrontakan PKI di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dalam tahun 1926 merupakan gerakan yang menimbulkan pengaruh politik yang lintas-suku dan lintas-agama yang penting (karena juga terjadi di Sumatera Barat). Sumpah Pemuda lahir dalam tahun 1928, ketika puluhan ribu orang telah ditahan dan dipenjarakan oleh pemerintah Belanda sebagai akibat pembrontakan PKI dalam tahun 1926. Berbagai angkatan muda dari macam-macam suku dan agama telah menyatukan diri dalam perlawanan terhadap kolonialisme Belanda lewat Sumpah Pemuda, ketika ribuan orang digiring dalam kamp pembuangan di Digul. Adalah penting untuk sama-sama kita perhatikan bahwa tokoh-tokoh nasional seperti Moh. Yamin (Jong Sumatranen Bond), Amir Syarifuddin (Jong Batak), Senduk (Jong Celebes), J. Leimena (Jong Ambon), adalah peserta-peserta aktif dalam melahirkan Sumpah Pemuda. Dan perlulah juga kita catat, bahwa Sumpah Pemuda dicetuskan oleh kalangan muda, ketika Bung Karno aktif melakukan beraneka kegiatan lewat PNI (yang dua tahun kemudian ditangkap Belanda dan diajukan di depan pengadilan Bandung, di mana ia mengucapkan pidato pembelaannya yang terkenal “Indonesia Menggugat”).
Jadi, jelaslah bahwa Sumpah Pemuda adalah semacam kontrak-politik berbagai suku bangsa Indonesia, yang diwujudkan secara kongkrit oleh wakil-wakil angkatan muda mereka. Sumpah Pemuda adalah fondasi penting kebangkitan bangsa Indonesia dan landasan utama bagi pembentukan negara Republik Indonesia.

SUMPAH PEMUDA ADALAH BHINNEKA TUNGGAL IKA
Dengan mengingat perjuangan rakyat Indonesia lewat berbagai bentuk dan cara (antara lain : Budi Utomo, Sarekat Islam, Sarekat Dagang Islam, Indische Party, ISDV, PKI, PNI, kemudian GAPI dan Gerindo) maka nyatalah bahwa Sumpah Pemuda adalah tonggak sejarah yang amat penting bagi perjalanan bersama bangsa kita. Dalam perjalanan perjuangan ini telah ikut serta banyak tokoh lokal dan nasional, dari berbagai suku dan agama serta aliran politik. Ada yang dari kalangan Islam, kristen Katolik dan Protestan, nasionalis, sosialis, komunis dan humanis. Mereka bersatu dalam Sumpah Pemuda, dan juga dalam berbagai perjuangan melawan Belanda, sampai lahirnya kemerdekaan tahun 1945.
Sekarang, sesudah Orde Baru membikin kerusakan-kerusakan yang begitu parah dalam kehidupan bangsa di bidang politik dan moral, maka lebih-lebih terasa lagi betapa pentingnya untuk mengingat kembali arti Sumpah Pemuda. Kita semua perlu berusaha bersama-sama meghidupkan kembali “api” Sumpah Pemuda. Semangat perjuangan HOS Tjokroaminoto, H. Agus Salim yang disalurkan lewat Sarekat Islam dan Muhammadiyah, patut dikenang terus. Demikian juga semangat Amir Syarifuddin, yang sebagai orang Kristen dan komunis telah menggunakan GAPI (Gabungan Politik Indonesia) untuk meneruskan perjuangan melawan Belanda (dan kemudian melawan Jepang lewat gerakan di bawah-tanah).
Namun, memperingati Hari Sumpah Pemuda adalah sesuatu yang hambar, sesuatu yang kosong, atau tidak artinya, kalau dilepaskan dari konteks sejarah yang melahirkannya. Sumpah Pemuda sudah menjadi alat pemersatu bangsa Indonesia yang amat ampuh dalam perjuangan melawan Jepang dan Belanda. Revolusi Agustus 1945 telah dicetuskan oleh berbagai golongan pemuda yang menjunjung tinggi-tinggi Sumpah Pemuda (mohon diingat : rapat-rapat di gedung Menteng 31, “penculikan” terhadap Bung Karno dan Bung Hatta ke Rengasdengklok). Pertempuran besar-besaran di kota Surabaia dan di banyak daerah-daerah lainnya di Jawa dan Sumatera telah juga dimotori atau dikobarkan oleh Sumpah Pemuda.
Jadi, keagungan Sumpah Pemuda adalah adanya kenyataan bahwa ia merupakan produk bersama yang diciptakan oleh banyak orang dari berbagai suku, agama, dan aliran politik. Di antara mereka terdapat banyak orang-orang, yang telah mengorbankan diri dengan berbagai cara dan bentuk. Dari sinilah kelihatan betapa benarnya dan betapa indahnya (atau betapa agungnya!) lambang kita Bhinneka Tunggal Ika. Kita berbeda-beda, namun kita satu : Indonesia. Jadi, Sumpah Pemuda ada hubungannya yang erat, atau, bahkan satu dan senyawa, dengan Bhinneka Tunggal Ika.

MARILAH KITA KOBARKAN SUMPAH PEMUDA
Dalam merenungkan kembali arti penting Sumpah Pemuda, mungkin perlu kita pertanyakan apakah Sumpah Pemuda benar-benar telah dihayati oleh Orde Baru beserta para pendukungnya? Memang, selama Orde Baru ada juga upacara-upacara peringatan. Namun, kebanyakan hanyalah bersifat ritual dan rutine yang tidak ada “api”-nya lagi. Seperti halnya Pancasila, Orde Baru beserta para pendukungnya telah mencabut roh Pancasila yang sebenarnya, atau melecehkannya sehingga menjadi barang busuk. Orde Baru telah memalsu dan menghina Pancasila, dengan membunuh jiwa perjuangan revolusioner Bung Karno. Para pendukung Orde Baru telah memperlacurkan Pancasila, atau, telah memalsukannya selama puluhan tahun. Jelaslah kiranya, bahwa Pancasila tidak bisa dihayati secara penuh dan murni kalau mengkhianati Bung Karno, penciptanya. Dan, justru inilah yang telah dilakukan oleh para pendukung Orde Baru.
Demikian juga halnya dengan Sumpah Pemuda. Sumpah Pemuda adalah kontrak sosial atau kontrak politik bersejarah , yang telah dibuat secara khidmat bersama-sama oleh angkatan muda dari berbagai golongan suku, agama, aliran politik. Perjuangan revolusioner Sarekat Islam, pembrontakan PKI dalam tahun 1926 terhadap kekuasaan kolonial Belanda, perjuangan kaum muda Batak, Aceh, Melayu, Minangkabau, Sunda, Jawa, Bali, Menado, Ambon dan lain-lain suku (ma’af bagi yang tak tersebut di sini) adalah “api” Sumpah Pemuda. Dengan kalimat lain : obor Sumpah Pemuda telah dinyalakan bersama-sama oleh golongan Islam, Katolik, Protestan, nasionalis, sosialis, komunis, humanis, dan lain-lainnya lagi.
Aspek-aspek penting inilah yang harus kita camkan bersama-sama dalam hati kita masing-masing, ketika dewasa ini negara dan bangsa kita sedang menghadapi berbagai krisis. Sebab, kecenderungan-kecenderungan negatif sudah makin terdengar di sana-sini, yang bisa membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa kita. Sebagai akibat politik pemerintahan Orde Baru, telah muncul permusuhan dan pertentangan suku, agama, dan aliran politik. Sebagian dari golongan reaksioner Islam telah memunculkan isyu-isyu keagamaan dan kesukuan yang berbahaya. Golongan yang menganut faham politik marxis, sosialis atau komunis telah dikucilkan selama puluhan tahun. Pelaksanaan otonomi daerah telah disalahgunakan oleh para oknum korup dan anti-rakyat di banyak daerah.
Sumpah Pemuda mengingatkan kita semua bahwa Indonesia ini adalah milik kita bersama, tidak peduli dari kalangan agama atau suku yang mana pun, atau dari kalangan aliran politik yang bagaimana pun. Sumpah Pemuda telah meng-ikrarkan bahwa kita adalah satu bangsa, satu tanah-air dan satu bahasa. Tetapi, Sumpah Pemuda hanya bisa betul-betul dihayati atau dipatuhi, kalau semua merasa mendapat perlakuan yang adil. Sumpah Pemuda hanya bisa betul-betul diakui atau ditaati secara bersama dengan sepenuh hati, kalau semua merasa dihargai setara. Adalah pengkhianatan terhadap Sumpah Pemuda, kalau ada golongan yang mau memaksakan secara sewenang-wenang faham keagamaannya atau aliran politiknya. Sumpah Pemuda mengingatkan kita semua, bahwa di Indonesia tidak boleh ada golongan yang merasa ditindas, dianak-tirikan, dikucilkan, atau diabaikan.
Dalam perjuangan panjang dan berliku-liku untuk merebut kemerdekaan nasional, Sumpah Pemuda telah merupakan senjata yang ampuh bagi banyak golongan. Dan dalam perjuangan panjang ini telah gugur banyak orang, dan banyak pula yang telah mengorbankan sebagian dari hidup mereka dalam penderitaan. Sekarang ini, setelah bangsa kita sudah merdeka, Sumpah Pemuda masih perlu kita kibarkan terus, dalam menghadapi berbagai persoalan nasional maupun ingernasional. Negara dan bangsa yang sudah dirusak secara besar-besaran oleh Orde Baru harus kita bangun kembali lewat reformasi di segala bidang. Kita semua sedang menghadapi berbagai akibat globalisasi ekonomi dan globalisasi komunikasi. Kita juga sedang menghadapi berbagai dampak dari aksi-aksi terorisme, baik yang dilakukan di tingkat nasional maupun internasional.
Kita semua belum tahu bagaimana dan apa kelanjutan dari peristiwa peledakan bom terror di Bali. Dan kita juga tidak tahu apakah Irak memang akan diserang oleh Amerika Serikat. Namun, yang sudah jelas yalah bahwa kita semua perlu tetap mengibarkan panji-panji Sumpah Pemuda, dalam menghadapi berbagai prahara politik, sosial dan ekonomi, yang mungkin akan muncul lebih serius di masa datang.
Dengan semangat dan jiwa asli Sumpah Pemuda yang dicetuskan dalam tahun 1928, kita perlu berusaha bersama-sama untuk menjadikan Indonesia yang berpenduduk 210 juta orang ini sebagai milik kita bersama. Indonesia adalah untuk semua golongan, yang merupakan berbagai komponen bangsa. Dengan mengibarkan panjji-panji Sumpah Pemuda, Bhinneka Tunggal Ika dan Pancasila kita perlu berjuang terus bersama-sama demi kepentingan seluruh rakyat, demi kesejahteraan dan kedamaian berbagai golongan suku, keturunan, agama, dan aliran politik.

Paris, 25 Oktober 2002
(Catatan : tulisan kali ini di samping dikirimkan langsung lewat E-mail ke berbagai alamat, juga disiarkan lewat Website A. Umar Said, yang bisa di-klik lewat http://perso.club-internet.fr/kontak )

 
Design by Technology Information Center