Selasa, 05 Mei 2009

Nasib Pedalangan Betawi Memprihatinkan

Yayat R. Cipasang

PERNAHKAH Anda menonton wayang kulit Betawi? Hampir dapat dipastikan jawabannya serempak: Boro-boro menonton, mendengar Betawi punya wayang saja baru kali ini.

Selama ini masyarakat dan warga Betawi—terutama generasi muda—umumnya hanya mengenal wayang kulit dari Jawa Tengah dan wayang golek asal Jawa Barat. Ironis memang.

Pada era 80-an, pedalangan Betawi padahal mencapai puncak kejayaannya dan tercatat ada sekitar 16 grup pedalangan. Masa keemasan juga ditandai dengan Festival Wayang Kulit Betawi yang digelar Dinas Kebudayaan DKI Jakarta setiap tahun. Selama itu pula, publikasi wayang Betawi sangat gencar. TVRI bahkan berkali-kali memberikan kesempatan kepada para dalang Betawi untuk tampil.

Sayangnya, belakangan wayang Betawi yang juga dikenal wayang tambun—konon wayang ini berkembang di Tambun, Bekasi, era 70-an—sulit berkembang. Seiring dengan gerusan zaman, hanya segelintir dalang saja yang dapat bertahan. Tersisihnya wayang Betawi ditengarai lantaran kesalahan para dalang. Umumnya, dalang Betawi tidak profesional. Padahal, kalau kreatif menggali bermacam lakon yang sesuai dengan zamannya pasti akan menarik untuk ditonton.

Wayang Betawi memang sulit bangkit kembali. Ini lantaran terjadi pergesaran budaya dan orientasi tontotan yang ekstrim di masyarakat.

Lebih-lebih dengan serbuan pudaya pop yang ringan, instan, dan gampang ditiru. Sebelumnya, setiap warga Betawi yang menggelar sunatan atau kawinan, pestanya selalu dimeriahkan dengan menanggap wayang.

Surutnya pedalangan Betawi juga diperparah dengan sikap para dalang yang enggan bergabung dengan Persatuan Pedalangan Indonesia (Pepadi). Dengan bergabung dengan Pepadi setiap dalang bisa saling bertukar pikiran dan pengalaman.

Kritik Sosial

Ditambah lagi, para dalang Betawi umumnya berpendidikan rendah dan buta tentang lakon Mahabarata dan Ramayana. Kendati demikian, dalang Betawi umumnya mahir dalam mengemas nilai-nilai filosofis dan kritik sosial.

Keterpurukan pedalangan Betawi juga diperparah dengan generasi mudanya yang acuh dan tak peduli. Wayang Betawi hanya tinggal kenangan para orangtua yang sudah uzur. Ironis memang, wayang Betawi hanya dikenal oleh orangtua yang usianya di atas 50 tahun.

Sejarah mencatat, wayang Betawi adalah sisa-sisa peninggalan Sultan Agung ketika menyerang Batavia pada Abad 17. Ketika itu Batavia diperintah Gubernur Jenderal Jan Pieter Zoon Coen. Sultan Agung yang ketika itu Raja Demak dikenal juga sebagai pimpinan yang menekankan nilai-nilai Islam lewat gamelan dan wayang. Di Solo, dikenal dengan Gamelan Sekaten. Gamelan ini dikenal sebagai medium penyebaran Islam.

Menurut pengamat seni budaya Betawi Rachmat Ruchiat, wayang Betawi berkembang pesat setelah prajurut Sultang Agung yang ikut menyerang Batavia lebih memilih menetap. Kalah perang, mengakibatkan prajurit Sultan Agung itu tidak berani kembali ke Mataram. Selanjutnya, selama menetap di Batavia, prajurit itu mengembangkan wayang sebagai salah satu bentuk kesenian Jawa yang dikuasai sebelumnya. Lantaran itu dalam perkembangannya bentuk wayang kulit Betawi mirip dengan wayang kulit Jawa. Namun, perangkat pendukung lainnya mendapat pengaruh dari kesenian Sunda.

Pada masa lampau, pertunjukan wayang Betawi diiringi gamelan yang sangat sederhana. Gamelan terbuat dari bambu, mirip calung Banyumas. Seiring dengan perkembangan zaman, mulai 1925 bahan gamelan pun kemudian terbuat dari logam, seperti terompet, saron, gambang, kromong, gedemung, kempul, kecrek dan gong.
Sementara itu, lakon wayang Betawi banyak mengolah Punakawan sebagai tokoh utamanya. Wayang Betawi juga menempatkan Semar sebagai tokoh yang sakral, yang tak pernah kalah dan pantang dihina.

Sisa-sisa kejayaan wayang Betawi kini masih bisa ditemui di beberapa wilayah di di Ibu Kota. Jakarta Timur paling banyak memiliki grup pedalangan, di antaranya di kelurahan Cijantung, Munjul, Ciracas, Gedong, Cakung dan Pulo Jahe. Di Jakarta Selatan masih bisa ditemui di Jagakarsa dan Kebagusan. Di Jakarta Barat masih bisa ditemukan di Kelurahan Cengkareng dan Kali Deres. Wayang Betawi juga masih bisa dicari jejaknya di Bogor, Bekasi, dan Tangerang.

Sebelum wayang Betawi benar-benar punah, tak ada salahnya bila Dinas Kebudayaan Jakarta kembali peduli, mendata, atau mungkin kembali menggelar festival seperti pada 1980. Paling tidak publikasi keberadaan wayang Betawi akan kembali melahirkan semangat baru, atau mungkin juga melahirkan dalang baru. (Yayat R. Cipasang).

Diambil dari Sinar Harapan pada Jum'at, 6 September 2002.

Related Post:

Widget by [ Iptek-4u ]

0 komentar:

Posting Komentar

Untuk sobat blogger yang ingin memberi komentar atas situs ini dan isi tulisan yang ada di blog ini, silahkan masukkan komentar-komentar sobat.

 
Design by Technology Information Center