’pada sepatah kata
yang sulit kulupa dalam do’a,
ibunda
yang sulit kulupa dalam do’a,
ibunda
-[kalian-mereka]-
tak kenal
maka tak sayang. tapi bukankah
jauh sebelum layar digelar, kau
setenang benih pelangi ditimang
cerah cuaca hujan siang hari? disayangi
tanpa dikenali
ketika pagi
tabah menanti malam ulurkan mimpi, kala
tangan-tersembunyi
lembut meraut perahu mungilmu
jauh di balik rahim awan perawan, bukankah kau jua
begitu dirahmani bunda? meski tanpa rupa dikenalinya
tanpa lengan dibuainya; tanpa rengkuh dimilikinya
berabad silam, dalam diam, sebelum kaucium hangat
tulus kasih di dadanya, Lam telah sampaikan
mahkota mega padanya; bunda begitu setia di sudut fajar
sabar lantun-layangkan beribu madah sederhana; ia
dianugrahi titah mengayun kepala
tentang kau datang dari mana
sebongkah timur tengah
tanah sengketa tumpah darah
tiada saksikan rona halus pipimu
ketika kemarau bibirmu mengulum
senyum manis mentari
pagi hari
hanya seminggu sebelum januari, yang kini digenggam hati
bagai purnama lalui tujuh hari; serangkai teka-teki
penyejuk kobar suci
bani seorang mustafa purba
yang dikaruniai jubah salju
sewaktu api begitu teguh memeluknya
karenanya, ketika buana
bertanya padamu, bunda yang puasa
hanya bisa hibur hatimu
dengan isyaratkan nama, putih jarinya
lentikan kata: kau
dari
cinta
sepatah kata
tak ditumbuhi apa-apa
Izin Penguasa Asma-ul Husna begitu saja hinggap di jiwa
kau pun bicara, wahai mawlana: “aku
tak lebih dari seorang hamba. ALIF
memberiku amanah al-kitab putih apa adaNya
memasang tiang sajadah tanpa bulu merak maupun tangan baja
menebar-tunaikan padi maupun roti tanpa jejak indra
diriku semata anak wanita. dengan sembunyi
kuciumi sepanjang nafas
wangi langit di kaki ibunda.”
-[kami-kita]-
sejarah kian pandai hitamkan rambutnya, bermimpi
remaja. sementara dunia
tetap beku menyapa. kata
dari lentik jari ibunda
kau hiasi bunga terserah
kau nyanyikan tawa apalah
kau warnai teja ini-itulah
juga kau sirami airmata entah
hingga ia begitu megah
begitu indah kehilangan wajah
seperti kecantikan kota
tak lelah berganti rupa di setiap kaca
bertempur bendungi detik usia
dunia anugrahi raganya puncak tahta. sayang
kekar jemari jauh
merampasnya dari dasar dada
ia telah menjelama urna di kepala brahmana. beku termangu
memandang sayap lucu kupu-kupu; sewarna monalisa dalam pigura
menggapai-lambai semilir di luar gereja istana. adakah kau rasa
raut ceria gembala kecil pada wajahnya? raut
lugu yang setia pada masa lalumu—sawah hangat
ramah bersahabat, tempat kau lompat-melompat. adakah
itu kau ingat?
-[nama]-
masa lalumu bukan kota sempurna
hanya tanah basah sederhana: surga
di sana
tak ada permata
tak ada mahkota
tak ada bunda
juga tak ada rahasia; di sana
hanya pernah ada
adam
hawa
sejiwa bersemayam
dalam dua raga
mereka berdua
seperti sepasang tangan
kiri dan kanan
kanan dan kiri
begitu dekat
begitu teguh meredam
hasrat berjabat
pernahkah
kau bersua
di antara semesta
bocah gembala? bermain
bersama sebelum bertukar nama
adam
hawa
tak pernah bertegur-sapa
juga tak pernah bertanya
sebab tiada jawabnya. tiada
sesiapa sebelum mereka, selain
-[Mim]-
rasa bersahaja
yang hadir dalam cahaya
begitu saja
salami nama
adam
hawa
entah kenapa
entah untuk apa, dua nama
itu tercipta? apakah
agar mereka
saling memanggil
menyapa? ah, rasa
patutkah dirimu manja? berbahasa
putar-balikan kata
pandai menggoda
lambai-melambai memikat belai
liuk-meliuk memanggil peluk
hingga begitu tega relakan raga
adam
hawa
menghirup udara
di luar
nirwana
adakah semua itu
semata tipu-daya, karena
melupa makna
sepasang nama? ataukah
rasa itu
hanya tak ingin
melihat
adam-hawa
tumpahkan air-mata di kakinya?
menyebut lirih namanya
di kedalaman do’a
ah, lupakanlah,
kehilangan suara, aksara; tak kuasa
mengeja tanda baca: tanya, titik atau koma
diam masih ada
aku malu pura-pura
biarlah sayang
maka tak kenal
Si Apalah, 2009
Related Post:
Widget by [ Iptek-4u ]
0 komentar:
Posting Komentar
Untuk sobat blogger yang ingin memberi komentar atas situs ini dan isi tulisan yang ada di blog ini, silahkan masukkan komentar-komentar sobat.