Sabtu, 04 April 2009

Absurditas Intelektual

Yasraf Amir Piliang


PENANGKAPAN Mulyana W Kusumah dan Nazaruddin Sjamsuddin, serta rencana pemeriksaan terhadap beberapa orang lain yang terkait kasus tuduhan korupsi di tubuh Komisi Pemilihan Umum akhir-akhir ini, sungguh merupakan pukulan amat berat dan menyakitkan terhadap dunia akademis dan intelektualitas umumnya sebab sebagian besar mereka adalah para akademikus dan intelektual.

Dunia akademis dan intelektual secara semantik tidak pernah dikonotasikan dengan dunia korupsi, karena dunia korupsi adalah dunia "tak akademis" dan "tak intelek". Dunia akademis dan intelektual secara semantik mempunyai konotasi sebagai sebuah ruang yang di dalamnya dikembangkan nilai-nilai obyektivitas, kejujuran, keterpercayaan, kebenaran (philosophia), dan moralitas akademis-homo academicus.
Maka, ketika para akademisi dan intelektual dituduh melakukan korupsi-meski masih diperlukan pembuktian hukum-konotasi yang segera berkembang di masyarakat adalah para akademisi dan intelektual itu ternyata juga tidak imun terhadap korupsi, meski korupsi bertentangan dengan nilai-nilai akademis dan intelektualitas, yang menggiring ke dalam semacam ironi intelektual-intellectualis ironia.

Tokoh-tokoh yang sebelumnya dianggap mempunyai modal intelektual (intellectual capital): pengetahuan, wawasan dan pengalaman hukum yang amat luas; modal kultural (cultural capital); dan modal simbolik (symbolic capital), berupa status dan prestise di masyarakat, tidak dapat menanamkan kesadaran, cara berpikir dan tindakan rasional (rational action) dalam bingkai norma hukum, dan justru terperangkap atau "dijebak" dalam tindakan melawan hukum sendiri, seperti penyuapan, manipulasi, dan korupsi.

Disebabkan lenyapnya rasionalitas dalam kesadaran, maka aneka tindakan dilakukan secara irasional, dalam pengertian tidak mempertimbangkan akibat dan konsekuensi dari tindakan itu di masa depan. Tidak masuk akal melihat aneka tindakan para akademisi dan intelektual ini yang seakan "bodoh", tanpa pertimbangan akal sehat dan perhitungan rasionalitas, sehingga menciptakan semacam absurditas intelektual-intellectualis absurditas.

ADA berbagai cara mempertanyakan faktor apa di balik tindakan korupsi para akademisi dan intelektual itu. Salah satunya adalah faktor lingkungan sosial. Para akademisi yang biasa hidup dalam alam obyektivitas, rasionalitas, kejujuran, kearifan, dan kebenaran, saat memasuki dunia baru yang penuh intrik, godaan, tipuan, tekanan, bahkan jebakan, tidak kuasa menahan, dan terperangkap dalam kekuasaan.
Dunia akademis, sebagaimana dikatakan Pierre Bordieu dalam Homo Academicus (1988), mempunyai semacam habitus sendiri, yang membedakannya dengan dunia lain, seperti dunia ekonomi, sosial, dan politik. Adalah habitus itu yang membuat setiap akademikus cenderung memilih, menyukai, dan melakukan tindakan tertentu yang mendukung identitas dunia akademis itu sendiri (yaitu tindakan akademis dan intelek), bukan tindakan lain yang justru meniadakannya.

Disebabkan kuatnya ikatan habitus, maka saat para akademisi dan intelektual ada dalam ruang-waktu lain, mereka semestinya memiliki sebuah kesadaran, bahwa ruang waktu itu bukan habitus mereka, sehingga diperlukan kehati-hatian (care) penyesuaian kebiasaan (habit) dan perhitungan rasionalitas tindakan yang cermat. Mereka yang tak kuasa menahan pengaruh lingkungan sosial itu, membiarkan dirinya tak rasional, dengan melakukan tindakan "absurd" secara akademis.

Sebagaimana dikatakan JF Lyotard, dalam Political Writings (1993), "kaum intelektual" kini menjelma menjadi semacam fashion, yaitu kelompok orang yang mempunyai identitas khusus, yang membedakan dari kelompok masyarakat lain. Perbedaan itu terletak pada modal intelektual yang mereka miliki sehingga masyarakat mempunyai ekspektasi tertentu dari mereka, khususnya kemampuan mereka dalam memisahkan benar-salah, rasional-irasional, asli-palsu, moral-amoral-the power of intellectual.

Kekuatan intelektualitas itu seharusnya tetap dipegang teguh dalam setiap situasi dan lingkungan, dalam sebuah kontinuitas spirit intelektualitas. Diskontinuitas pada tingkat kesadaran intelektualitas itu menyebabkan lenyapnya nilai-nilai rasionalitas dalam tindakan, khususnya tentang efek dan konsekuensi logis dari sebuah tindakan (suap, korupsi, bohong), yang dapat menjebak dalam aneka tindakan irasional-intellectual discontinuity.

Apakah kondisi diskontinuitas intelektual semacam ini yang dialami Mulyana W Kusumah, sehingga sosok yang mempunyai modal intelektual, modal kultural (berupa pengetahuan, wawasan, dan pengalaman amat luas tentang dunia hukum dan kriminalitas), serta integritas akademis yang tinggi, begitu mudah terjebak (atau dijebak?) dalam sebuah tindakan irasional sekaligus absurd? Atau ada logika lain di balik tindakan itu?

"Absurditas kaum akademisi" ini, yaitu cara berpikir dan tindakan yang tanpa memperhitungkan efek, akibat dan konsekuensi tindakan di masa depan (teleologis), merupakan "tragedi intelektualitas". Penangkapan atas diri mereka menimbulkan enigma besar di atas tubuh bangsa, yang menggiring pada kondisi kegamangan, khususnya mulai dipertanyakannya dunia akademis dan intelektualitas sebagai benteng terakhir dalam menjaga obyektivitas, kejujuran, dan kebenaran.

TERJEBAKNYA para akademisi dan intelektual dalam dunia "tak akademis" (tipu daya, suap, penjebakan, simulasi, kebohongan, pengambinghitaman), meski di luar ruang akademis itu sendiri menimbulkan keprihatinan mendalam, disebabkan ada sebuah kondisi akademis yang dipertaruhkan di dalamnya, yaitu pertaruhan nilai-nilai kebenaran (truth), keterpercayaan (trust) dan kejujuran (true) dalam skala lebih luas.

Siapa pun tentu tidak ingin sampai pada sebuah kesimpulan silogisme, bahwa bila kaum akademikus dapat melakukan tindakan korupsi di luar dunia akademis (seperti KPU), pasti mereka juga dapat melakukan tindakan yang sama dalam dunia akademis sendiri-"korupsi akademis". Kesimpulan logis seperti ini tentu tidak diinginkan semua orang karena dunia akademis adalah harapan terakhir bagi dibangunnya nilai-nilai obyektivitas, kebenaran, dan kejujuran, dalam dunia yang penuh tipu daya, manipulasi dan simulasi dewasa ini.

Bila para akademisi benar-benar telah terjebak dalam dunia simulasi itu, maka citra dunia akademis sebagai tiang penyangga nilai-nilai obyektivitas, kejujuran, dan kebenaran terancam menjadi sebuah mitos, karena kenyataannya para akademisi dan intelektual itu juga dapat "berbohong", "tak-dipercaya", "mengambinghitamkan", "menjebak", dan "menyembunyikan kebenaran" (simulation).

Bila demikian, maka para akademisi dan intelektual itu menjadi apa yang disebut George Bataille dalam Vision of Excess (1989) sebagai "manusia ironis", yaitu manusia yang memparodi diri (kelompok, lembaga, korps), dengan merusak modal intelektual, kultural, dan simbolik sendiri. Dengan melakukan aneka tindakan yang bertentangan dengan dan meniadakan nilai-nilai akademis sendiri, sama dengan "merusak diri sendiri", dengan melakukan tindakan ekses-intellectualis ironia.

Meski demikian, demi kebenaran itu sendiri, tentunya tidak adil bila semua kesalahan ditimpakan kepada para akademisi dan intelektual sendiri. Dalam kasus KPU, sebenarnya terbuka berbagai kemungkinan "kebenaran". Sesuatu yang tampak sebagai "kebenaran", belum tentu kebenaran yang sebenarnya. Sebab, dalam hukum, bisa saja kebenaran itu tidak "ditemukan" oleh sistem hukum sendiri, tetapi merupakan pabrikasi sosial (social manufacturing) dari sebuah sistem yang lebih besar, yang mempunyai kepentingan, dengan menggelar aneka "jebakan" dan "simulasi" politik. Hukum harus peka terhadap berbagai kemungkinan simulasi politik.

Bagaimanapun juga, penangkapan beberapa akademisi dan intelektual dalam kasus korupsi di KPU hendaknya menjadi pelajaran amat berharga bagi kaum akademikus dan intelektual sendiri. Diperlukan sebuah refleksi, bahwa nilai-nilai akademis dan intelektualitas itu (obyektivitas, keterpercayaan, kejujuran, dan kebenaran) adalah harga mati, kapan dan di mana saja. Kekuatan intelektual, kultural dan simbolik yang dimiliki hendaknya selalu dijaga keutuhan dan integritasnya, disebabkan kaum akademikus dan intelektual adalah simbol dari kebenaran itu sendiri-the power of intellectual.


Yasraf Amir Piliang Ketua Forum Studi Kebudayaan (FSK) FSRD, Institut Teknologi Bandung

Sumber: http://kompas.com/kompas-cetak/0505/26/opini/1774363.htm

Related Post:

Widget by [ Iptek-4u ]

1 komentar:

Unknown mengatakan...

jangan pernah berhenti dalam mengolah rasa dan cipta. oke bung...

Posting Komentar

Untuk sobat blogger yang ingin memberi komentar atas situs ini dan isi tulisan yang ada di blog ini, silahkan masukkan komentar-komentar sobat.

 
Design by Technology Information Center