Oleh: A. CHAEDAR ALWASILAH
PASAL 50 ayat (5) Undang-Undang No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional secara eksplisit mengamanatkan, pemerintah kabupaten/kota harus mengelola pendidikan dasar dan pendidikan menengah, serta satuan pendidikan yang berbasis keunggulan lokal. Kenyataannya, program tersebut masih sekadar "mimpi indah" karena sejumlah alasan sebagai berikut.
Selama ini pendidikan nasional kita sangat sentralistis. Orientasinya sangat nasional, dan hal tersebut dibayar mahal dengan terabaikannya potensi-potensi lokal. Secara nasional akumulasi prestasi pembangunan tampak besar, namun secara lokal (baca: daerah) prestasi itu kecil karena daerah tidak diberi otonomi untuk melakukan kreativitas. Budaya minta petunjuk dan pengarahan dari atas adalah bukti mandulnya kreativitas.
Demi implementasinya, pemerintah telah menyusun Rencana Strategis (Renstra) Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas). Di dalamnya tertera bahwa perluasan satuan pendidikan berbasis keunggulan lokal dikembangkan secara bertahap di setiap kabupaten dan kota.
Seingat kita, Indonesia adalah negara agraris dan maritim. 70% lebih dari negeri ini terdiri atas perairan sebagai sumber kekayaan alam tiada habis-habisnya. Inilah keunggulan dan potensi lokal, namun pendidikan nasional mengabaikannya.
Bangsa ini telah kufur terhadap anugerah potensi lokal. Bidang pertanian dan kelautan tidak menjadi primadona pembangunan. Terbukti, di perguruan tinggi (PT) bidang studi yang berkaitan dengan pertanian, kehutanan, dan kelautan kurang diminati daripada, misalnya, ekonomi, bisnis, sospol, dan teknologi. Di Indonesia ini tidak ada PT yang memiliki kunggulan komparatif dalam bidang kelautan dan perikanan.
Bahkan banyak sarjana bidang pertanian dan kelautan lebih nyaman bekerja di bidang lain, dan merasa kurang nyaman berinteraksi dan bersahabat dengan tanah, tumbuhan, dan laut. Fenomena brain drain ini adalah sebuah pengkhianatan profesi sebagai akibat dari lemahnya pemerintah dalam manajemen SDM dan telah bertindak teledor dalam menangani potensi lokal itu. Yang terjadi malah pembabatan hutan oleh bangsa sendiri dan pencurian ikan di perairan kita oleh maling-maling asing.
Basis Potensi Lokal
Sulit untuk memaafkan para pembuat kebijakan yang telah menanamkan tiga sikap keliru di kalangan orang tua: (1) SMA lebih bergengsi daripada SMK, (2) gelar kesarjanaan adalah kunci untuk mendapat pekerjaan layak, dan (3) pemerintah lebih jagoan daripada lembaga swasta dalam mengelola pendidikan. Rencana pemerintah mengubah jumlah SMK dan SMA menjadi 70 berbanding 30 memang datang terlambat, tetapi layak disambut gembira.
Sesungguhnya sekolah berbasis keunggulan atau potensi lokal bisa menjadi solusi strategis untuk mendorong kegiatan perekonomian nasional dan mengembalikan posisi Indonesia sebagai negara agraris dan maritim. SMK dituntut untuk menghasilkan tenaga terampil mengolah potensi sumber daya alam, khususnya di bidang pertanian dan kelautan. Pendidikan yang nasionalis menanamkan komitmen untuk menurunkan ketergantungan pangan terhadap negara tetangga, seperti mengurangi impor beras, kedelai, dan sebagainya; dan bahkan bisa meningkatkan ekspor hasil laut.
Baru pada tahun 2003, wacana pendidikan berbasis keunggulan lokal ini terwadahi oleh undang-undang. Otonomi yang diberikan kepada pemerintah daerah (Pemda) tidak diimbangi oleh SDM tingkat manajer yang mampu melakukan pemetaan dan mengelola potensi lokal. Sementara itu, tidak semua daerah memiliki SMK yang lulusannya memadai secara kuantitas dan kualitas untuk menjadi tenaga lapangan yang terampil mengolah potensi itu.
Dalam jangka pendek, Pemda seyogianya segera menyusun program pelatihan (tambahan) yang perlu diberikan kepada para guru SMK maupun SMA. Pendidikan berbasis potensi lokal tidak terbatas pada SMK, tetapi juga sekolah-sekolah lainnya. Dalam jangka menengah Pemda perlu memiliki guru-guru vokasional yang profesional dalam berbagai bidang dan memiliki sertifikasi. Dalam jangka panjang, berdasarkan studi kebutuhan pasar dan potensi lokal Pemda memutuskan jenis rekayasa yang akan diajarkan.
Dengan demikian di masa mendatang, kita akan memiliki peta nasional keunggulan lokal dari setiap daerah di seluruh Indonesia dan terbina melalui SMK-SMK yang bermitra dengan PT setempat. Artinya setiap PT pun akan memiliki keunggulan lokal masing-masing. Selayaknya PT di Kalimantan, misalnya, memiliki keunggulan lebih dalam studi transportasi air dan ilmu kehutanan. PT di Nusa Tenggara Timur memiliki keunggulan lebih dalam bidang kelautan, dan PT di Bali memiliki keunggulan lebih dalam bidang pariwisata.
Kearifan lokal
Ada dua jenis potensi lokal, yaitu fisikal seperti kekayaan laut, hutan, alam secara keseluruhan, dan potensi kultural yakni wujud kreativitas sebagai respons akal budi atas potensi fisikal itu. Kearifan lokal adalah kekayaan kultural bangsa yang seyogianya dipertahankan lewat pendidikan. PT sejatinya berperan sebagai laboratorium pengkaji kearifan itu.
Ambil saja pencak silat sebagai potensi lokal Indonesia. Sejauh manakah PT melakukan penelitian dan dokumentasi secara profesional ihwal aliran-aliran dan kesejarahan pencak silat? Seni bela diri merupakan bagian dari kreativitas kultural, sangat manusiawi, dan jauh dari pelampiasan naluri-naluri rendah. Harus kita akui, belum ada pendokumentasian diseminasi yang sistematik. Dengan kata lain belum ada pendekatan saintifik terhadapnya. Bangsa Indonesia telah kufur atas potensi kultural ini!
Lihatlah Cina yang akan menjadi tuan rumah Olimpiade Beijing 2008. Mereka memiliki Beijing Sports University. Di situlah para (mantan) atlet dunia dilahirkan dan diberdayakan sebagai dosen. Saya kagum melihat adanya Fakultas Wushu di samping fakultas-fakultas lainnya. Di fakultas itulah para mahasiswa asing belajar filsafat, pembelajaran, dan praktik seni bela diri. Demikian juga Korean National University, ada Fakultas Taekwondo. Saya bermimpi 20 tahun mendatang PT di Bandung ada fakultas Pencak Silat, di samping fakultas Teknologi Makanan Tradisional, fakultas Seni Tradisional, dan fakultas Pengobatan Tradisional.
Beberapa tahun lalu saya pernah bertemu seorang mahasiswa S1 Jepang yang tinggal selama setahun di Jawa Barat dan berpindah dari kota ke kota untuk mempelajari berbagai makanan tradisional Sunda. Bisa jadi produksi berbagai jenis makanan Jepang yang berkualitas ekspor itu, diilhami oleh berbagai makanan khas tradisional kita. Yang mereka lakukan adalah studi saksama dan rekayasa ulang makanan itu dengan pengemasan yang memesona.
Belajar dari Singapura
Bila kasus mahasiswa Jepang di atas itu benar, maka bangsa ini ditakdirkan kecolongan terus, dari soal makanan tradisional, sengketa pulau Sipadan dan Ligitan dengan Malaysia, sampai perjanjian ekstradisi dengan Singapura yang kini hangat diwacanakan. Alasannya bisa jadi karena bangsa ini dipimpin oleh orang-orang yang kufur atas potensi alam dan kultural selama ini. Atau karena pendidikan yang mereka tempuh tidak menyadarkan mereka terhadap besarnya potensi lokal dan terhadap dahsyatnya berbagai krisis yang menggerogoti bangsa.
Mari berguru kepada Singapura sebagaimana digambarkan dalam buku Shaping Singapore's Future:Thinking Schools, Learning Nation (2005). Bila siswa-siswa Jepang diajari bagaimana menghadapi gempa, siswa-siswa Belanda disadarkan akan rawannya daerah di bawah permukaan air laut, maka siswa-siswa Singapura diajari akan tiga tantangan kritis yang dihadapi, yakni: (1) sempitnya wilayah dan terbatasnya sumber daya alam, (2) pentingnya mempertahankan prestasi ekonomi sosial, dan (3) rapuhnya negara sebagai satu-satunya negara yang didominasi etnis Cina di wilayah yang didominasi etnis Melayu dan Muslim.
Kemakmuran Singapura sangat tergantung pada investasi asing dan perusahaan-perusahaan multinasional. Pendidikan nasional Singapura mengantisipasi ketergantungan dan keterbatasan ini. Pembangunan yang sangat cepat sangat dirasakan oleh semua lapisan masyarakat. Seorang supir taksi dengan bangga memberi tahu saya: "Dalam setiap dua tahun gedung-gedung di sini akan dirobohkan, diganti dengan yang baru."
Tiga tantangan kritis di atas sangat memengaruhi orientasi pendidikan nasional untuk menanamkan apresiasi kultural dan toleransi agama, menumbuhkan semangat persaudaraan, menguatkan kehidupan keluarga, menguatkan hubungan interpersonal, dan menumbuhkan komitmen tinggi terhadap pembangunan bangsa. Singapura sadar betul pentingnya menanamkan nasionalisme, mengingat usia negara ini sangat muda-kurang lebih satu generasi--jika dibandingkan dengan bangsa-bangsa lain yang memiliki sejarah nasional yang panjang. Namun, dunia mengakui bahwa Singapura tampil sebagai negara yang memiliki angkatan bersenjata tercanggih di Asia Tenggara.
Jadi luasnya wilayah, membludaknya sumber daya alam, dan padatnya penduduk seperti fenomena di Indonesia, tidak menjamin majunya sebuah negara. Bahkan menjadi beban bagi negara. Singapura berhasil membangun negara antara lain dengan menerapkan knowledge economy, yaitu ekonomi di mana produksi dan jasa didasarkan pada kegiatan pengetahuan yang berkontribusi bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Ekonomi demikian dicirikan oleh hal-hal sebagai berikut: (1) menekankan pengetahuan sebagai modal (intellectual capital), (2) adanya kreasi dan eksploitasi pengetahuan secara sinambung demi perbaikan masa datang, (3) munculnya berbagai inovasi, (4) komitmen untuk belajar sepanjang hayat, dan (5) teknologi informasi, komputer, dan bioteknologi memegang peran penting dalam penyebaran ilmu pengetahuan.
Semua langkah di atas sejalan dengan program pendidikan nasional Singapura yang diluncurkan pada Mei 1997 oleh Wakil Perdana Menteri Lee Hsien Loong yang memperkenalkan visi pendidikan yang dirangkum dalam empat kata Thinking Schools, Learning Nation. Lee mengimbau setiap guru dan kepala sekolah agar menanamkan beberapa pesan kepada para siswa, antara lain: (1) menjaga keharmonisan rasial dan agama, (2) menegakkan sistem meritokrasi dan antikorupsi, dan (3) percaya akan masa depan yang lebih baik.
Singapura mengajari kita beberapa pelajaran untuk membangun bangsa, yaitu: sikap toleransi rasial dan agama, meritokrasi, antikorupsi, dan optimisme yang mesti ditanamkan pada anak didik. Potensi lokal dan nasional seyogianya dijadikan modal dasar untuk membangun bangsa, namun yang paling mendasar adalah pembangunan SDM melalui pendidikan yang terfokus. Dalam pada itu, pendidikan adalah proses penyadaran anak bangsa terhadap berbagai potensi yang mengancam keutuhan bangsa.
Potensi lokal baik fiskal maupun kultural merupakan sumber lahirnya inovasi dan keterampilan, bahkan rekayasa yang dapat dipergunakan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Untuk itu, perlu dibudayakan sikap kritis dan kajian modern terhadap potensi-potensi itu. ***
Penulis, mengajar di Universitas Pendidikan Indonesia, Koordinator Nasional APCEIU (Asia Pacific Center of Education for International Understanding), di bawah UNESCO, berpusat di Seoul, Korea Selatan.
Related Post:
Widget by [ Iptek-4u ]
0 komentar:
Posting Komentar
Untuk sobat blogger yang ingin memberi komentar atas situs ini dan isi tulisan yang ada di blog ini, silahkan masukkan komentar-komentar sobat.