M. Quraish Syihab
Memberikan defenisi ukhuwah Islamiah bukanlah suatu pekerjaan mudah. Sebabnya, antara lain, istilah ini bukan hanya menyangkut sikap lahiriah, melainkan juga sikap batiniah. Tetapi, paling tidak kita bisa memberikan gambaran tentangnya, sebagaimana Rasulullah. Rasulullah SAW menggambarkan ukhuwah Islamiah dengan contoh-contoh. Misalnya : “Muslim yang satu dengan yang lainnya seperti suatu bangunan yang saling kuat-menguatkan”, atau “semacam satu tubuh.” Sehingga, kalau pun kita ingin menyusun suatu formulasi mengenai ukhuwah Islamiah, paling tidak kita bisa berkata bahwa itu adalah : suatu kondisi dinamis yang diakibatkan oleh adanya perasaan senasib dan sepenanggungan.
Prasyarat-Prasyarat Ukhuwah Islamiah Prasyarat bagi terwujudnya ukhuwah Islamiah ini adalah, pertama, harus ada husnuzh-zhan, prasangka baik terhadap semua saudara. Kalau sejak semula Anda punya prasangka buruk, maka segala apa yang dilakukan oleh pihak lain, walaupun itu baik, Anda tafsirkan jelek, sehingga menimbulkan keretakan. Dan yang kedua, tidak ada satu kelompok pun boleh memonopoli kebenaran.
Prasyarat lain, barangkali, adalah pendidikan. Latar belakang pendidikan seseorang mempengaruhi terwujudnya ukhuwah Islamiah. Semakin tinggi pengetahuan seseorang bisa diharapkan semakin tinggi toleransinya. Sebaliknya, semakin rendah pengetahuan seseorang dan latar belakang pendidikannya, semakin besar kemungkinan timbulnya hal-hal yang negatif, khusunya kalau ada yang mengembus-embuskan dari luar. Di negeri-negeri Islam yang tingkat pendidikannya maju, ukhuwah Islamiah menyangkut kehidupan beragama (bukan politik) lebih kokoh dibanding dengan di negeri-negeri Islam yang tingkat pendidikan masyarakatnya terbelakang. Contohnya di Mesir. Kalau Anda berbicara menyangkut perbedaan pendapat di Mesir orang tidak akan memaki Anda.
Dugaan Sumber Perbedaan
Semua umat Islam sepakat bahwa petunjuk pasti yang tidak diragukan –baik dalam redaksi apalagi maknanya– adalah Al-Quran. Tetapi Al-Quran merupakan teks, redaksi-redaksi, kalimat-kalimat. Setiap kalimat bisa menimbulkan interpretasi yang berbeda-beda. Namun demikian, ada interpretasi-interpretasi yang bisa pasti penafsirannya disebabkan oleh adanya dukungan argumentasi-argumentasi lain. Satu contoh, Keesaan Tuhan. Tidak seorangpun dari kaum Muslimin, selama dia Muslim, meragukan bahwa Tuhan itu Esa. Itu diistilahkan dengan Qath’i, pasti benar. Selain masalah Keesaan Tuhan di atas, semua Muslim yakin bahwa Nabi Muhammad adalah Utusan Tuhan yang terakhir untuk seluruh manusia; bahwa Hari Kemudian itu ada; bahwa Al-Quran itu benar, tidak ada tambahan, tidak ada kekurangannya, dan sebagainya. Tetapi, ada lagi satu jenis redaksi yang memang bisa menimbulkan dua atau lebih penafsiran. Itu diistilahkan dengan “dugaan yang mendekati kebenaran” atau Zhanni.
Kita harus tahu bahwa yang qath’i itu sebenarnya sedikit sekali. Setiap redaksi yang kita temui, walaupun ayat Al-Quran, dalam penafsirannya mempunyai kaitan dengan banyak hal. Imam As-Syatibi menyebutkan paling sedikit sepuluh hal. Satu kata saja, bisa menimbulkan perbedaan berkenaan dengan pengertiannya – apakah etimologis, terminologis ataukah pengertian sehari-hari. Sedang dalam hadis, perbedaan penilaian mengenai shahih-tidaknya, bisa merupakan sumber perbedaan. Apa-apa yang kita namakan qath’i itu, juga diistilahkan dengan sesuatu yang telah diketahui oleh umat Islam secara pasti (adh-dharurah ma’lumun minaddin). Nah, setiap perselisihan menyangkut hal ini bisa mengakibatkan seorang dinilai bukan Muslim. Tetapi, kalu perbedaan itu hanya dalam ruang lingkup zhanni, tidak menjadikan seorang yang tidak mengakuinya lantas boleh dianggap keluar dari Islam.
Selanjutnya, kita akan masuk ke dalam soal wewenang penafsiran. Pertama sekali, tidak semua orang boleh semaunya menetapkan sesuatu soal sebagai zhanni atau qath’i. Ada prasyarat-prasyarat untuk mendapatkan wewenang itu. Dia harus memperhatikan bagaimana kaitannya dengan hadis, bagaimana kaitannya dengan kaidah-kaidah penafsiran yang lain. Ada syarat-syarat yang sebenarnya telah disepakati oleh ulama-ulama menyangkut wewenang penafsir dan batasannya. Untuk bisa menafsirkan teks Al-Quran, setidaknya seseorang mesti menguasai pengetahuan bahasa arab, sejarah Al-Quran atau Hadis, ditambah pengetahuan mengenai masalah yang ingin ditafsirkan. Sebagaimana, misalnya, seorang dokter yang akan melakukan pembedahan, disyaratkan memenuhi terlebih dahulu persyaratan penguasaan terhadap kemampuan-kemampuan tertentu, begitu juga agama menetapkan syarat-syarat tertentu sebelum seseorang diberi wewenang untuk menafsirkan. Bukan berarti bahwa kemudian orang tidak boleh berijtihad. Bukankah adanya syarat-syarat bagi seorang yang akan membedah, atau adanya syarat-syarat bagi seseorang yang akan membangun satu gedung itu, tidak berarti larangan untuk membangun atau membedah?
Melakukan penafsiran sekehendak hati ini sebenarnya salah satu penyakit di dunia Islam, setiap orang merasa bahwa Al-Quran diturunkan untuk semua orang, sehingga semua orang merasa punya wewenang untuk memahaminya, walaupun dia tidak mempunyai syarat untuk itu.
Toleransi bagi yang Zhanni
Perbedaan yang menyangkut hal-hal yang bersifat dugaan atau zhanni, bisa atau harus ditolerir oleh semua pihak, selama pendapat tersebut memenuhi persyaratan-persyaratan yang disebutkan diatas. Kita tidak diperbolehkan oleh agama berbeda dalam tujuan, tapi dibenarkan di dalam cara mencapai tujuan. Islam memberikan kelonggaran pada apa yang disebut tanawa’ul ibadah (keragaman cara beribadah), meski harus juga diketahui bahwa agama juga memberikan prinsip-prinsip pokok yang membatasi cara tersebut. Dalam Islam, tujuan tak boleh menghalalkan cara. Dalam batas-batas syar’i tersebut, cara memang perlu berubah-ubah dari satu kondisi ke kondisi lainnya yang sesuai dengan kebutuhan. Bahkan, lebih jauh lagi, Al-Quran memberikan kemungkinan dua kelompok dari kaum mukminin berperang (iqtatalu), tapi toh Al-Quran masih menyebut mereka mukmin (minal mu’minin). Kemudian, salah satu tujuan pokok agama dalam kehidupan sosial, adalah menjaga persatuan. Bahkan dalam beberapa ayat Al-Quran, perpecahan itu terkadang dinamai kekufuran – seperti misalnya, penafsiran Muhammad Abduh dan Hasan Al-Banna tentang ayat 105-106 surah Ali Imran.
Jadi, Anda boleh mengemukakan perbedaan-perbedaan ini selama tidak menimbulkan perpecahan. Karena itu, perbedaan-perbedaan faham sebaiknya dikemukakan di dalam suatu forum yang bisa mentolerir perbedaan pendapat ini, misalnya di Perguruan tinggi dan jangan di masyarakat awam.
Semua Golongan Muslim Selamat
Sehubungan dengan masalah ini, ada satu Hadis Nabi SAW yang diriwayatkan oleh At-Turmudzi, dan Abu Daud yang berbunyi : “Akan berfirqah-firqah umatku menjadi 73 firqah/golongan, semuanya di neraka kecuali satu golongan.” Yang satu golongan ini siapa? Tanya sahabat. Nabi menjawab: “Yang (keyakinan dan pengamalannya) sesuai dengan (keyakinan dan pengamalan)-ku.” Mencari yang satu golongan ini, mengakibatkan diskusi dan pembahasan berkepanjangan dari para ulama yang mewakili tiap-tiap golongan yang ada. Masing-masing – baik Sunni, Syi’i, Khawarij, Mu’tazilah dan sebagainya – mengklaim bahwa golongannyalah yang selamat karena mengikuti Nabi, sedang golongan lain tidak selamat. Bahkan kelompok-kelompok kecil kecil yang terdapat dalam masing-masing golongan tadi, menyatakan bahwa yang dimaksud oleh Nabi adalah kelompoknya semata-mata. Ada satu pendapat yang menarik dari Syekh Muhammad Abduh yang agaknya baik untuk direnungkan. Menurut beliau, banyak alternative yang tergambar dalam benak seseorang yang bersifat obyektif menyangkut pengertian Hadis tersebut, antara lain: 1. Mungkin satu golongan yang selamat itu, suatu ketika telah pernah ada dan telah punah, sehingga yang ada sekarang kesemuanya termasuk dalam kelompok yang tidak selamat. 2. Mungkin ke-tujuhpuluhtiga golongan yang dimaksud itu, belum terbentuk semuanya hingga masa kini. 3. Mungkin juga satu golongan yang selamat itu, belum lagi terbentuk, atau 4. Kesemua yang ada sekarang ini termasuk dalam kelompok yang selamat itu, karena kesemuanya mengikuti prinsip-prinsip pokok ajaran Islam yang dijelaskan oleh Nabi secara qath’i.
Muhammad Abduh kemudian menyatakan bahwa : “Yang menggembirakan saya adalah adanya satu riwayat yang menyatakan bahwa; yang sesat/binasa hanya satu golongan dari ketujuhpuluhtiga golongan tersebut.” Nah, sekarang, apa kita lantas bisa beranggapan bahwa Syi’ah tidak ikhlas mengikuti Nabi? Sunni tidak ikhlas mengikuti Nabi? Yang terjadi hanyalah mereka berbeda interpretasi karena perbedaan hasil ijtihad. Perbedaan pendapat tidak bisa dihindari karena kita sebagai manusia diberi akal. Kita hendaknya jangan terlalu ambisius, sehingga ingin mempersatukan umat dalam seluruh langkah dan tindakan. Biarlah kita ber-fastabiqul khairat, asal tujuan kita sama, insya Allah semua akan berhasil mencapai tujuan. Dengan demikian, adanya golongan-golongan ini, asal mereka saling memahami apa-apa yang boleh ditolerir, malah akan menjadikan masing-masing pihak berpacu untuk menuju sasaran yang sama, sehingga menimbulkan dinamika.
*Semula tulisan ini diterbitkan dalam buku “Satu Islam, Sebuah Dilema”, terbitan Mizan.
Sumber: http://buletinmitsal.wordpress.com/perspektif/